Minggu, 26 September 2010

Harga Emas : Tinggi Tetapi Tidak Ketinggian...

leh Muhaimin Iqbal
Senin, 27 September 2010 05:34

Ketika saya menulis tentang kinerja Dinar emas melalui tulisan tanggal 24/09/2010 – dimana di tulisan tersebut saya ungkapkan data bahwa harga Dinar emas telah melonjak 71.29% selama tiga tahun terakhir, berbagai pertanyaan disampaikan pembaca situs ini ke saya. Diantaranya adalah apakah harga emas atau Dinar sudah ketinggian sekarang sehingga waktunya menunggu harga turun sebelum membeli (lagi) ?.

Melihat harga emas dunia yang hampir menyentuh US$ 1,300/Oz dan harga Dinar sudah diatas Rp 1,600,000/Dinar , maka memang betul bahwa harga emas atau Dinar sudah sangat tinggi. Namun harga yang tinggi ini tidak harus berarti ‘ketinggian’ yang berkonotasi akan turun kembali.

Seberapa tinggi atau seberapa rendah harga emas yang dibeli dengan US$ atau Rupiah, sangat tergantung dengan kekuatan daya beli US$ atau Rupiah itu sendiri. Jadi Emas atau Dinar akan naik lagi atau akan turun, tergantung kearah mana kekuatan daya beli US$ atau Rupiah bergerak.

Masyarakat dunia melacak trend kekuatan daya beli US$ dengan US Dollar Index (USDX), sedangkan untuk Rupiah saya melacaknya dengan Rupiah Index (IDRX) – yang perhitungannya pernah saya perkenalkan lewat tulisan saya akhir tahun lalu.

Bila trend USDX dan IDRX tersebut kita sandingkan dengar trend pergerakan harga emas sejak tiga tahun lalu, hasilnya akan seperti grafik dibawah. Meskipun ruwet seperti benang kusut, namun grafik ini menyiratkan suatu pola yang bisa dibaca dengan cukup jelas.

IDRX, USDX and Gold Trend

IDRX, USDX and Gold Trend

Perhatikan garis biru (USDX) dan kuning (Emas dalam US$/Oz), keduanya bergerak berlawanan arah sampai awal tahun ini. Artinya bila USDX yang mencerminkan daya beli US$ menguat, maka harga emas akan cenderung turun. Ini terjadi dalam situasi normal, maupun dalam kondisi krisis – bila krisisnya bersumber dari US$ atau Ekonomi Amerika itu sendiri.

Kemudian selama kurang lebih enam bulan berikutnya, terjadi anomaly yaitu harga emas dalam US$ naik bersamaan dengan naiknya daya beli US$. Kok bisa ? pada periode ini Dollar menguat – tetapi daya belinya terhadap emas tetap menurun (harga emas tetap naik) karena penguatan Dollar tersebut bersamaan dengan melemahnya Euro yang didorong oleh krisisPIIGS. Krisis yang sempat membuat para pelaku dunia usaha dan investor was-was dalam beberapa bulan tersebut mendorong permintaan emas sebagai tempat berlabuh yang aman bagi dana usaha dan investasi mereka.

Tiga bulan terakhir ancaman krisis PIIGS mereda dan US$ mulai kelihatan jati dirinya yang asli – yaitu cenderung melemah. Dengan issue Quantitative Easing 2 (QE 2) yang terus menghantui masyarakat pelaku usaha dan investor dunia, nampaknya kecenderungan melemahnya Dollar ini masih akan berlanjut. Dalam grafik (biru) nampak jelas trend penurunannya dalam tiga bulan terakkhir dan belum ada tanda-tanda berbalik arah. Sebaliknya harga emas tiga bulan terakhir nampak sudah mulai berperilaku normal yaitu naik ketika daya beli Dollar menurun (grafik kuning).

Lantas bagaimana dengan Rupiah ?. Rupiah Index (IDRX) yang mencerminkan daya beli Rupiah – pada umumnya berperilaku mirip dengan US$ selama tiga tahun terakhir, harga emas dalam Rupiah naik ketika IDRX turun dan sebaliknya. Hanya saja naik turunnya IDRX ini tidak selalu bersamaan dengan naik turunnya USDX. Ketika krisis financial melanda AS akhir 2008 sampai awal 2009, supply uang US$ yang sempat menjadi langka membuat US$ Index melonjak tajam. Daya beli relatif Rupiah terhadap US$ turun yang ditunjukan oleh IDRX yang rendah pada periode waktu tersebut. Pada periode inilah harga Dinar sempat melewati angka Rp 1,600,000/Dinar – bukan karena harga emas dunia lagi setinggi sekarang (saat itu harga emas dunia ‘hanya’ di kisaran US$ 940/Oz), tetapi Rupiahnya-lah yang lagi anjlog – bahkan sempat menyentuh angka Rp 12,000/US$.

Hari-hari ini Rupiah terhadap US$ kelihatan perkasa yaitu dibawah angka Rp 9,000/US$; sayangnya keperkasaan ini hanya terjadi bila dibandingkan dengan US$ saja. Bila dibandingkan dengan sekelompok mata uang kuat dunia lainnya yang tercermin dari IDRX – maka sesungguhnya Rupiah-pun saat ini sedang dalam trend melemah seperti US$. Lihat ujung kanan grafik merah yang sejalan dengan grafik biru.

Dengan signal yang begitu kuat yang tercermin dari grafik merah dan biru yang menurun sedangkan grafik emas naik ini, maka nampaknya harga emas masih akan terus naik. Peluang turunnya tetap akan ada, yaitu bila ada noise – berupa isu-isu sesaat yang bisa mengacaukansignal. Setelah noise ini menghilang, kembali signal yang jelas-lah yang akan dominant.

Jadi saat ini harga emas atau Dinar memang lagi tinggi, tetapi berdasarkan grafik diatas kita bisa melihat signal-nya dengan jelas bahwa harga sekarang belum ketinggian. Wa Allahu A’lam.

Sabtu, 25 September 2010

Dinar Setelah 3 Tahun : Apa Yang Terjadi...?

Oleh Muhaimin Iqbal
Jum'at, 24 September 2010 09:07

Bulan September ini genap tiga tahun sejak system kami mencatat secara rutin perkembangan harga Dinar dari hari ke hari. Dalam perkembangannya bahkan harga Dinar ini berhasil kami otomatisasikan berdasarkan perkembangan harga emas Dunia, dan ter-update setiap 6 jam dalam angka dan setiap 10 menit dalam grafik – seperti yang dapat Anda ikuti diwww.geraidinar.com sampai sekarang.

Grafik dibawah menggambarkan perkembangan harga tersebut dalam rata-rata bulanan. Di awal kami mencatat harga tersebut, rata-rata bulan September 2007 – harga Dinar berada pada angka Rp 915,080/Dinar sedangkan rata-rata bulan ini harga tersebut berada pada angka Rp 1,567,420/Dinar – naik sebesar 71.29 % dalam waktu tiga tahun.

Perkembangan Harga Dinar 2007-2010

Perkembangan Harga Dinar 2007-2010

Apa maknanya apresiasi nilai Dinar ini bagi uang Anda ?, untuk mudahnya saya berikan gambaran pembanding dengan Deposito standar dengan hasil rata-rata 6 % per tahun misalnya. Bila pada September 2007, Anda memiliki uang Rp 2,000,000 ; yang Rp 1,000,000 Anda taruh di Deposito sedangkan yang sisanya Rp 1,000,000,- Anda taruh di Dinar. Maka nilai uang Anda yang di Deposito kini menjadi Rp 1,196,680,- sedangkan yang di Dinar menjadi Rp 1,712,879,- atau 43% lebih tinggi ketimbang yang di Deposito standar. Untuk lebih mudahnya memahami perbandingan ini, perhatikan grafik dibawah.

Dinar Sebagai 'investasi' vs. Deposito

Dinar Sebagai 'investasi' vs. Deposito

Selain sebagai fungsi investasi – yaitu bila Dinar dilihat dari kaca mata Rupiah nampak memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dari investasi dalam bentuk deposito – Dinar juga terbukti berfungsi efektif dalam melindungi nilai asset Anda dalam tiga tahun ini. Uang di Deposto Anda yang seolah tumbuh 19.67% dalam tiga tahun tersebut diatas, ternyata bila diukur dengan timbangan Dinar – bukannya tumbuh malah turun atau menyusut sekitar 25% dalam tiga tahun terakhir. Perhatikan grafik dibawah untuk penjelasan hal ini.

Dinar Sebagai Proteksi Nilai vs. Deposito

Dinar Sebagai Proteksi Nilai vs. Deposito

Setelah fungsi investasi dan proteksi nilai ini terbukti efektif, kini tantangan berikutnya memang menggunakan Dinar sebagai alat transaksi atau medium of exchange. Untuk transaksi modal atau transaksi komersial, pinjam-meminjam dlsb. hal inipun sudah berjalan efektif – tinggal menggunakannya untuk transaksi konsumsi – ini yang merupakan challenge tersendiri.

Dengan adanya gagasan pendirian Pasar Madinah yang saya perkenalkan lewat beberapa tulisan sebelumnya, insyaAllah akan dapat ikut menyempurnakan penggunaan Dinar dalam arti yang sesungguhnya yaitu sebagai Unit of Account, sebagai Store of Value dan tentu saja sebagai Medium of Exchange. InsyaAllah.


Senin, 20 September 2010

Harga Emas : Bila Burung-Burung Canary Mulai Mati ...

Oleh Muhaimin Iqbal
Jum'at, 17 September 2010 07:33

Burung kecil canary (Serinus canaria domestica) yang hidup di sekitar tambang batu bara – biasanya akan mati terlebih dahulu bila ditambang tersebut muncul carbon monoksida, gas methane atau gas beracun lainnya yang melebihi ambang batas aman. Para pekerja tambang harus segera meninggalkan tambang ketika melihat butung canary ini pada mati. Burung canary menjadi semacam ‘early warning system’ bagi para pekerja tambang batu bara – sehingga muncullah kiasan dalam bahasa Inggris yang berbunyi “canary in the coal mine” yang artinya kurang lebih ya peringatan dini tersebut.

Peringatan dini inilah yang diingatkan oleh Alan Greenspan mantan Chariman of The Fed selama dua dasawarsa dalam seperempat abad terakhir. Kita tahu dalam hal uang fiat – uang yang tidak memiliki nilai intrinsik, nilainya tidak tergantung dengan benda fisiknya – masyarakat ekonomi dunia mengenal pemain utamanya adalah The Fed-nya Amerika. Nilai US$ yang ‘dikendalikan’ oleh The Fed ini berpengaruh langsung maupun tidak langsung ke seluruh perekonomian dunia karena US$ juga menjadi reserve currency di hampir seluruh negara di Dunia. Tokoh yang sangat menentukan dalam ‘pengendalian nilai US$’ ini di Amerika selama beberapa dasawarsa terakhir ya Alan Greenspan tersebut diatas – yang menjabat sebagaiChairman of The Fed selama 20 tahun sampai pensiun empat tahun silam (2006).

Ironinya adalah ‘guru’ uang fiat dunia tersebut ternyata selama ini juga tidak mempercayai nilai uang fiat itu sendiri. Dalam pernyataannya di depan Council on Foreign Relations yang dimuat di The New York Sun dua hari lalu misalnya, Greenspan mengeluarkan beberapa ‘pengakuan’ yang sayangnya tidak dia keluarkan selagi dia masih menjabat dahulu. Beberapa pengakuan yang mengejutkan para pengagung uang fiat tersebut antara lain adalah sbb :

“Fiat money has no place to go but gold,”

“If all currencies are moving up or down together, the question is: relative to what? Gold is the canary in the coal mine. It signals problems with respect to currency markets. Central banks should pay attention to it.”

Keyakinan Greenspan terhadap emas tersebut selama 20 tahun menjabat dia aktualisasikan dengan menjaga US$ agar tidak keluar jauh dari nilai emas. Di awal dia menjabat Agustus 1987 harga emas berada pada angka rata-rata bulanan US$ 461/Oz, ketika pensiun akhir Januari 2006 harga emas rata-rata bulan itu berada pada angka US$ 549/Oz. Di masa pengelolaaannya, harga emas dalam US$ ‘hanya’ mengalami kenaikan sebesar 19% dalam 20 tahun.

Bandingkan misalnya dengan penggantinya Ben Bernanke yang belum genap lima tahun menjabat, harga emas sudah tidak terkendali dalam US$, naik dari rata-rata bulanan US$ 461/Oz Januari 2006 ke rata-rata US$ 1,250/Oz bulan ini atau mengalami kenaikan sebesar 171% dalam tempo kurang dari lima tahun !. Tidak sepenuhnya salah Ben Bernanke memang, tetapi setidaknya ini juga cerminan ketidak peduliannya sebagai Chairman of The Fed terhadap harga emas – yang seharusnya menjadi instrumen peringatan dini bagi daya beli uang kertas.

Tidak seperti pendahulunya yaitu Greenspan yang relatif mampu mengendalikan daya beli US$ terhadap emas karena menjadikan harga emas sebagai peringatan dini bagi uang fiat yang dikendalikannya, “...gold is canary in the coal mine...”.

Karena ignorance-nya para pengendali uang fiat kini, “...burung-burung canary di tambang batu bara...” telah pada sekarat dan sebagian mati, berupa harga emas yang melonjak 171 % dalam US$ selama kurang dari lima tahun terakhir, atau dalam Rupiah melonjak 160% pada periode yang sama (harga emas Rp 140,000/gram Januari 2006; Rp 365,000/gram September 2010) , maka kini waktunya – ‘para pekerja tambang’ – seperti kita-kita ini untuk menyelamatkan diri.

Kalimat hikmah (perkataan yang baik/bijaksana) adalah senjatanya orang mukmin, dimanapun ia mendapatkannya maka dia lebih berhak untuk mengambilnya” (HR. Tirmidzi/Ibnu Majjah)

Harga Emas Dari September Ke September : Seasonal dan Systemic

Oleh Muhaimin Iqbal
Rabu, 15 September 2010 07:56

Ketika saya mulai tertarik mengkaji Dinar bulan September lima tahun lalu (2006), harga emas dunia saat itu masih berada di bawah US$ 600/Oz (September average US$ 598/Oz). Semalam harga emas dunia sempat ditransaksikan di angka US$ 1,275/Oz; dan average bulan ini (sampai tanggal 15) sudah mencapai US$ 1,250/Oz atau lebih dari dua kali lipat dari bulan yang sama lima tahun lewat. Ini menguatkan teori saya tentang peluruhan daya beli mata uang kertas yang memang rata-rata memiliki waktu paruh di kisaran 5 tahun saja !.

Memang teori ini perlu pembuktian secara ilmiah, namun biarlah para ilmuwan yang melakukannya. Sebagai pelaku ekonomi awam, saya sendiri cukup menggunakan pemahaman teori ini untuk menyelamatkan diri dari menjadi korban penurunan nilai mata uang kertas yang begitu terang benderang. Untuk pembuktian ilmiahnya sendiri, saya senang ada peserta Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin yang insyallah akan menyusun thesis Doktor-nya dengan subject peluruhan daya beli mata uang kertas ini.

Untuk bulan September sendiri, memang bulan ini adalah bulan yang khusus untuk harga emas dunia. Bahwa kenaikan harga emas yang terjadinya secara musiman atau seasonal di awali di bulan September, sudah pernah saya tulis sekitar satu setengah tahun lalu dengan judul Musim Membeli Emas/Dinar. Kenaikan yang bersifat musiman ini juga nampak di grafik dibawah, bila kumulatif kenaikan harga emas selama 5 tahun dari rata-rata tahunan hanya berada di angka 94% selama lima tahun ini; kenaikan kumulatif 5 tahun untuk rata-rata September mencapai 109%.

September Gold Price vs Annual

September Gold Price vs Annual

Tetapi kenaikan harga emas dari September ke September dan dari tahun ke tahun, tidak hanya bersifat seasonal – karena kalau hanya faktor seasonal – harga emas akan kembali rendah di bulan-bulan yang lain. Kenyataannya rendahnya di bulan-bulan lain sangat jarang menyamai rendahnya harga emas di bulan-bulan yang sama tahun sebelumnya. Dengan kata lain, ada kenaikan harga emas yang sifatnya terus menerus dan bersifat systemic dari tahun ke tahun.

Ada setidaknya 9 faktor systemic yang insyaAllah akan terus mendorong harga emas keatas yang saya ringkaskan dari karya Dr. Martin Murenbeeld – Chief Economist dari Dundee Wealth Economic sebagai berikut :

1. Global Fiscal and Monetary Reflation - yaitu Negara-negara di dunia yang masing-masing membanjiri ekonominya dengan hutang untuk sekedar tidak tenggelam dalam kebangkrutan.

2. Global Imbalances – dimana Dollar nampak perkasa hanya karena mata uang negara-negara lain melemah. Dollar sendiri sebenarnya terus melemah dengan neraca perdagangan yang terus deficit. Amerika sekurangnya akan menambah hutangnya sebesar US$ 10 Trilyun dalam dekade ini.

3. Excessive Global Foreign Exchange Reserves – cadangan devisa Negara-negara di dunia akan menggelembung secara exponential – tetapi tersimpan dalam nilai mata uang kertas yang nilainya terus menyusut – sementara cadangan emas negara-negara di dunia akan terus melanjutkan penurunannya yang sudah dimulai sejak tiga puluh tahun lalu (1980).

4. Central Bank Attitudes to Gold – bank-bank central dunia akan cenderung menambah cadangan emasnya dan hanya IMF yang menjual emasnya ( dan Indonesia yang menjual cadangan emasnya 24 % pada akhir 2006 lalu!). Bank sentral India misalnya membeli seluruh 200 ton emas yang dijual IMF akhir tahun lalu, sedangkan bank sentral China malah berhasil melipat gandakan cadangan emasnya dari 395 ton ke angka 1,054 ton dalam dekade terakhir.

5. Gold Is Not Bubble – harga emas adalah harga barang yang secara fisik tidak pernah kehilangan nilainya dalam sejarah peradaban manusia. Jadi tingginya harga emas bukan gelembung atau bubble – yang bisa meletus dan kehilangan nilainya.

6. Mine Supply Is Flat – Sumber-sumber emas dari galian tambang baru relatif tidak bisa mengejar pertumbuhan permintaan, selama 20 tahun terakhir galian baru ini hanya menambah supply sebesar 25 % atau rata-rata 1.25% saja per tahun.

7. Investment Demand – karena kekawatiran terhadap berbagai instrumen investasi lainnya, permintaan investasi pada emas akan terus meningkat secara global. Sejak awal 2009 permintaan emas dunia terus meningkat – bahkan pada kwartal kedua tahun ini permintaan tersebut dua kali lebih besar dari periode yang sama tahun sebelumnya. Ini yang menjelaskan mengapa sepanjang tahun ini harga emas dunia tidak turun-turun.

8. Commodity Price Cycle – sejak tahun 1800 harga komodity dunia mengalami siklus naik turun yang periodenya masing-masing siklus bisa satu sampai beberapa dekade. Jadi bull cycle yang sekarang bisa saja masih akan terus berlangsung sampai beberapa tahun mendatang.

9. Geopolitical Environment – Secara historis harga emas selalu tinggi pada saat terjadi gejolak politik maupun finansial. Puncak harga emas dunia misalnya pernah terjadi di tahun 1980 ketika terjadi krisis penyanderaan warga AS di Iran yang nyaris memicu perang besar. Tahun- tahun mendatang masih banyak sumber konflik global yang bisa meledak kapan saja. Setelah meredanya krisis Iraq misalnya, masih ada krisis di Afganistan yang dipicu serangan tentara AS dan sekutunya ke negeri itu, krisis Palestina yang dipicu pendudukan tentara yahudi yang tidak berhak atas wilayah itu, keberanian Iran untuk terus menyiapkan program nuklirnya, demikian pula ancaman Korea Utara yang bisa nekat kapan saja.

Well, jadi meskipun bulan ini harga Dinar kemungkinan akan terus tinggi karena bahan bakunya yaitu emas dunia yang memang lagi tinggi; tidak ada yang bisa tahu apakah bulan-bulan kedepan atau tahun-tahun mendatang harga Dinar bisa turun lagi ?. Sesaat saya yakin bisa saja turun, tetapi dalam jangka panjang kecenderungan naik oleh 9 faktor tersebut diatas-lah yang akan lebih dominan. Kebutuhan kita akan proteksi nilai justru akan terus meningkat di waktu-waktu yang akan datang. Wa Allahu A’lam.