Senin, 22 November 2010

Deret Fibonacci dan Teori Peluruhan Untuk Menduga Harga Emas 10 Tahun Mendatang...

Oleh Muhaimin Iqbal
Kamis, 18 November 2010 05:42

Tentang teori deret Fibonacci, saya pernah menulisnya hampir tiga tahun lalu untuk menggambarkan penurunan nilai mata uang kertas. Kemudian saya juga telah menulis tentang teori peluruhan eksponensial sekitar 8 bulan lalu untuk menguatkan hal yang sama. Kini saya akan menggunakan dua teori tersebut untuk menjawab salah satu pertanyaan pembaca setia situs ini, yaitu seperti apa kiranya harga emas sepuluh tahun dari sekarang.

Sebelum saya uraikan aplikasi dari teori-teori tersebut, perlu saya jelaskan bahwa tidak ada seorang ahli-pun di dunia yang bisa mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di masa yang akan datang – demikian pula dengan saya. Yang saya lakukan hanyalah mengolah data statistik harga emas dan nilai tukar Rupiah, kemudian menggunakannya dengan asumsi – bahwa peristiwa-peristiwa yang akan datang – tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah pernah terjadi sebelumnya.

Untuk menduga harga emas 10 tahun yang akan datang, saya gunakan statistik harga emas dalam US$/Oz dan dalam Rp/Gram selama 40 tahun terakhir 1970 – 2010 yang sudah saya muat dalam tulisan tanggal 1 November 2010 di situs ini.

Dari statistik tersebut diatas, kita tahu bahwa seama 40 tahun terakhir – harga emas dunia rata-rata 2010 (sampai Oktober) dalam US$/Oz telah mengalami kenaikan sebesar 33 kali dibandingkan harga emas rata-rata tahun 1970; atau dalam Rupiah selama periode yang sama harga emas telah mengalami kenaikan sebesar 749 kali. Dari data ini bila kita konversikan dengan bilangan Fibonacci (perkalian 1.618) dan waktu paruh US$ maupun Rupiah (yang berarti perkalian 2.0 untuk harga emas) ; maka selama 40 tahun terakhir dapat kita sarikan dalam tabel dibawah :

Deret Fibonacci

Deret Fibonacci dan Teori Peluruhan Untuk Menduga Harga Emas 10 Tahun Mendatang...

Cara membaca tabel diatas adalah sebagai berikut :

· Dalam kurun waktu 1970-2010; harga emas dalam US$ telah mengalami frekwensi Fibonacci sebanyak 7.05 dan dalam Rupiah sebanyak 13.5.

· Rentang waktu (return period) dari satu titik Fibonacci ke titik berikutnya rata-rata selama 40 tahun terakhir dalam US$ adalah 5.67 tahun sedangkan dalam Rupiah 2.96 tahun.

· Dalam kurun waktu 1970-2010; harga emas bila dibeli dengan mata uang kertas telah berlipat dua (daya beli uang US$ maupun Rupiah tinggal separuh) sebanyak 4.85 kali (US$) dan 9.40 kali (Rupiah)

· Selama 40 tahun terakhir, waktu paruh rata-rata mata uang kertas adalah 8.25 tahun untuk US$ dan 4.26 tahun untuk Rupiah.

Dari rangkuman angka-angka statistik tersebut, dapat kita gunakan secara sederhana untuk menghitung berapa kira-kira harga emas sepuluh tahun yang akan datang baik dalam US$ maupun dalam Rupiah – dengan asumsi bahwa tidak terjadi pemburukan ekonomi dunia yang lebih parah dibandingkan dengan apa yang terjadi selama 40 tahun terakhir.

Deret Fibonacci dan Teori Peluruhan Untuk Estimasi Harga Emas 10 Tahun

Deret Fibonacci dan Teori Peluruhan Untuk Estimasi Harga Emas 10 Tahun

Dengan menggunakan pendekatan deret Fibonacci Harga Emas rata-rata 10 tahun yang akan datang dapat dihitung dari harga emas rata-rata tahun ini x kelipatan Fibonacci (1.618) ^ (10 /return period Fibonacci). Hasilnya untuk US$ adalah US$ 2,789/Oz dan dalam Rupiah adalah Rp 1,822,985/gram.

Bila kita gunakan teori peluruhan, maka harga emas rata-rata 10 tahun yang akan datang adalah sama dengan harga emas rata-rata tahun ini x 2 ^ (10/waktu paruh). Hasilnya untuk US$ adalah US$ 2,768/Oz dan dalam Rupiah adalah Rp 1, 831,898/gram.

Untuk memberi gambaran seberapa tinggi harga-harga tersebut dapat dibandingkan dengan tabungan US$ maupun tabungan Rupiah sebagai berikut :

· Bila Anda menabung US$ 1,194 tahun ini (harga rata-rata emas dunia 2010 untuk 1 Oz), dengan hasil bersih rata-rata 1 % misalnya; maka 10 tahun yang akan datang uang Anda hanya menjadi US$ 1,319. Uang yang sama yang Anda rupakan emas menjadi antara US$ 2,768 – US$ 2,789 atau naik sekitar 2.2 kali dibandingkan dengan tabungan US$ Anda.

· Bila Anda menabung Rp 359,000 (setara dengan harga 1 gram emas rata-rata tahun ini), maka bila tingkat hasil bersih rata-rata 6 % , setelah 10 tahun uang Anda akan menjadi Rp 749,000. Jumlah uang yang sama bila dirupakan emas akan bernilai antara Rp 1,822,985 - Rp 1,831,898 atau kurang lebih 2.6 kali dibandingkan yang ditabung dalam Rupiah.

Dari angka-angka diatas kita kemudian juga bisa menghitung pula bahwa harga Dinar saat itu (2020) insyaAllah akan berada di rentang rata-rata antara Rp 7,812,252/Dinar s/d Rp 7,850,445/Dinar.

Estimasi tersebut diatas adalah estimasi konservatif karena berasumsi bahwa tidak terjadi percepatan pemburukan ekonomi dunia dalam 10 tahun kedepan. Padahal kita tahu sejak beberapa tahun terakhir misalnya, daya beli US$ cenderung memburuk dengan cepat setelah berbagai langkah Quantitative Easing yang dilakukan oleh Federal Reserve-nya. Jadi lebih besar peluang harga emas dunia untuk lebih tinggi dari perhitungan-perhitungan tersebut diatas – ketimbang peluangnya untuk lebih rendah. Wa Allahu A’lam.

Rabu, 10 November 2010

Menduga Masa Depan Harga Emas Dari Neraca Perdagangan...

Oleh Muhaimin Iqbal
Kamis, 11 November 2010 06:33

Ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997/1998, ekonomi kita seperti luluh lantak. Pemutusan hubungan kerja meraja lela, banyak perusahaan yang harus tutup dan bahkan sampai kini Anda masih bisa menyaksikan korbannya berupa kota hantu di daerah Sentul. Suatu komplek yang semula direncanakan menjadi komplek perumahan mewah, semasa krisis moneter ditinggalkan pengembang dan calon pembelinya dengan menyisakan puing-puing bekas penjarahan. Namun obat yang begitu pahit bagi bangsa ini tersebut, ternyata menyembuhkan suatu penyakit kronis yang disebut defisit dalam neraca perdagangan.

Neraca Perdagangan RI 1980 - 2010 (s/d Juli 2010)

Neraca Perdagangan RI 1980 - 2010 (s/d Juli 2010)

Dari grafik di atas kita tahu bahwa selama belasan tahun sebelum krisis, Indonesia selalu mengalami defisit dalam neraca perdagangannya. Hanya setelah krisis moneter melanda, tiba-tiba kita menjadi surplus hingga kini. Lho kok bisa ?. Apakah industri kita lebih efisien sehingga lebih mampu bersaing dengan pasar global ?, apakah kita ada inovasi teknologi baru ?, produk ekspor unggulan baru ?, pasar tujuan ekspor baru ?. Tidak juga demikian !.

Kita menjadi tiba-tiba mampu bersaing karena nilai uang kita menjadi sangat rendah bila dibandingkan dengan rata-rata nilai daya beli uang negara-negara lain. Bila gaji buruh, pegawai dan bahkan direksi tiba-tiba nilainya tinggal seperempatnya karena nilai mata uang kita yang jatuh (1998); demikian pula dengan ongkos kandungan local dari industri-industri kita – pastilah produk-produk ekspor kita menjadi sangat kompetitif dari sisi harga.

Dari pengalaman Indonesia men-terapi penyakit kronisnya tersebut; kita tahu bahwa secara efektif kita bisa sembuh dari penyakit kronis defisit neraca perdagangan melalui kejatuhan nilai mata uang Rupiah kita.

Nah apa hubungannya neraca perdagangan ini dengan harga emas dunia ?. Karena harga emas dunia saat ini dinilai dengan US$, maka kita bisa menduga nasib harga emas dunia tersebut dari apa yang kiranya akan terjadi dengan daya beli US$ itu sendiri. Sekarang perhatikan grafik dibawah yang menunjukkan neraca perdagangan Amerika selama 30 tahun terakhir.

Neraca Perdagangan AS 1980-2010 (s/d Agustus 2010)

Neraca Perdagangan AS 1980-2010 (s/d Agustus 2010)

Mirip Indonesia sebelum krisis 1997/1998 ; Amerika ternyata juga telah menderita penyakit kronis defisit neraca perdagangan selama belasan tahun hingga kini. Penyakit kronis inilah yang dengan setengah mati diupayakan oleh Obama antara lain melalui kunjungannya ke India dan Indonesia kemarin ini.

Sebagai ‘salesman’ yang berhasil memukau publik negara-negara yang dikunjunginya, bisa saja kunjungan-kunjungan tersebut akan meningkatkan ekspor Amerika ke negara-negara yang telah dikunjunginya. Namun peningkatan ini akan sulit sekali menyembuhkan penyakit kronis yang sudah menahun.

Lantas apa solusi yang efektif yang harus ditempuh Amerika ?, karena presidennya pernah belajar di Indonesia selama 4 tahun semasa kecil – harusnya Amerika kali ini juga mau belajar dari pengalaman Indonesia mengatasai penyakit yang sama sebelum 1997/1998 – bahwa terapi yang paling efektif untuk seketika membalik posisi defisit menjadi surplus adalah melalui devaluasi besar-besaran atau kehancuran daya beli mata uangnya !.

Hal ini bisa dilakukan secara malu-malu dan memberi nama yang indah – Quantitative Easing – misalnya, atau secara terang-terangan seperti Indonesia tahun 1997/1998 yang disebut krisis moneter. Cara pertama bisa menyembuhkan tetapi perlu waktu yang lebih lama, cara kedua akan menyakitkan tetapi ini terapi yang terbukti sangat efektif – paling tidak pernah dibuktikan di Indonesia !.

Mana-pun yang dipilih Amerika, tidak ada insentif apapun bagi mereka untuk menaikkan daya beli atau nilai tukar mata uangnya. Bila nilai tukar mata uang mereka naik – mereka akan semakin tidak kompetitif – yang berarti akan semakin membesarkan defisit neraca perdagangannya. Defisit neraca perdagangan yang terus menerus akan membawa kebangkrutan negara karena mereka terus mengkonsumsi barang dan jasa dari luar lebih banyak daripada yang mereka bisa jual keluar.

Jadi secara perlahan-lahan ataupun secara drastis, siapapun presidennya - Amerika akan cenderung membawa nilai tukar mata uangnya ke arah turun. Barang-barang yang dibeli dengan mata uang US$ dalam jangka panjangnya akan terus naik, meskipun perjalanan jangka pendeknya bisa saja bergelombang.

Maka ini pula yang akan terjadi dengan harga emas dunia, bergelombang dalam jangka pendek – tetapi arah jangka panjangnya sangat jelas. Wa Allahu A’lam.

Senin, 08 November 2010

Value Creation : Cukup Untuk Anda, Cukup Untuk Saya...

Oleh Muhaimin Iqbal
Selasa, 09 November 2010 07:18

Harga emas dunia semalam melambung melampaui level psikologis berikutnya yaitu angka US$ 1,400/Oz. Melambungnya harga emas ini tidak terlepas dari praktik ekonomi yang mendasarkan pada teori scarcity, yaitu anggapan bahwa benda-benda ekonomi tersedia terbatas untuk memenuhi keingingan atau kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Harga emas akan terus naik selama dia diperebutkan umat manusia untuk disimpan, tetapi tidak harus demikian bila umat manusia mau berbagi dan mau menciptakan nilai (value creation) secara bersama-sama.

Teori scarcity tersebut kemudian melahirkan zero-sum mindset yang mewabah pada para pelaku ekonomi modern – ya kita semua di jaman ini. Untuk memahami zero-sum mindset ini, perhatikan ilustrasi grafis dibawah.

Value Creation

Value Creation

Asumsikan dalam suatu unit aktivitas ekonomi yang hanya ada dua orang pemain yaitu A dan B. Dengan zero-sum mindset A dan B sama-sama beranggapan bahwa ukuran kue yang mereka perebutkan adalah 100 misalnya. Maka A berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri karena kalau dia berhasil mencapai posisi P1 misalnya, maka dia mendapatkan porsi yang besar 75 dan menyisakan porsi yang kecil 25 bagi B.

B –pun tidak akan tinggal diam, dia akan berusaha maksimal merebut kue yang ada, kalau dia berhasil menggeser ke posisi P2 – maka dia yang mendapatkan 75 dan A hanya mendapatkan 25.

Habis-habisan memperebutkan kue yang terbatas – scarcity – inilah yang membuat para pemain usaha rela melakukan persaingan yang tidak sehat. Zero-sum mindset pula yang mengakibatkan manusia pada umumnya enggan berbagi dalam hal apa saja. Enggan berbagi ilmu misalnya karena beranggapan bahwa kalau orang lain pinter – dia akan mengambil rizkinya. Yang terakhir ini bahkan kemudian dilembagakan secara global menjadi yang namanya Intellectual Property Right (IPR).

Lantas mindset seperti apa seharusnya kita memandang benda-benda ekonomi yang menjadi kebutuhan tersebut agar lebih sesuai dengan syariat Islam yang kita anut ini ?.

Islam sangat menganjurkan berbagi dalam hal apa saja, baik yang sifatnya harta benda maupun ke-ilmuan. Berbagi harta tidak akan membuat kita miskin, berbagi ilmu tidak pula akan membuat orang lain bisa merebut rizki kita.

Islam mengajarkan bahwa sumber-sumber kebutuhan manusia disediakan secara cukup oleh Allah yang Maha Kaya (Al-Ghani) dan yang Maha Pembuat Kaya (Al-Mughni), rizki disediakan cukup untuk kita dan cukup pula untuk orang lain – yang kita perlu lakukan hanyalah mengikuti syariat-nya dalam segala hal, termasuk dalam mengelola segala kebutuhan kita baik yang bersifat harta benda maupun yang bersifat ke-ilmu-an.

Ambil contoh di grafik diatas misalnya. Bila A dan B tidak bersaing satu sama lain, mereka malah saling tolong menolong berbagi ilmu dan saling men-support ikhtiar pihak lain – maka secara bersama-sama mereka bisa membesarkan kue-nya ke garis biru atau bahkan garis biru muda.

Ketika mereka berhasil bersinergi membesarkan kue ini, maka keduanya tidak harus berbagi kue yang besarnya 100; A sendiri bisa memperoleh 100 dan B – pun bisa memperoleh 100. Inilah yang namanya rakhmat dari Allah, Al-Ghani dan Al-Mughni yang diturunkannya bila kita mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Rakhmat Allah yang turun bila kita tidak saling mengkhianati mitra usaha kita, tidak mencurangi orang lain yang mencari rizki-nya dibidang yang sama dengan kita.

Prinsip Al-Ghani dan Al-Mughni ini secara tidak langsung berusaha diraih oleh para pelaku ekonomi dan usaha modern di jaman ini dengan istilah value creation. Dalam usaha misalnya, value creation ini bisa dilakukan untuk tiga kepentingan sekaligus yaitu kepentingan pengusaha/investor, kepentingan karyawan dan kepentingan pelanggan.

Bila Anda sebagai pengusaha dapat memenuhi kebutuhan karyawannya secara cukup akan mampu membuat karyawan bersemangat dan berdedikasi. Mereka akan menghasilkan produk atau layanan yang berkwalitas sehingga menyenangkan para pelanggannya. Pelanggan yang senang akan membeli lagi dan lagi, dan bahkan ikut menyebar luaskan produk dan layanan Anda. Usaha Anda akan terus membesar dan kue yang Anda bagi ke karyawan juga terus membesar, inilah operasionalisasi hal jazaa ul ihsaani illal ihsan – tidak ada balasan dari suatu kebaikan selain dengan kebaikan pula - dalam berusaha.

Lantas apa hubungannya dengan harga emas yang terus membubung tinggi di awal tulisan ini ?. Bila emas diputar dan tidak ditimbun, emas-pun sesungguhnya tersedia cukup untuk semua orang – hanya sikap mental zero-sum mindset yang menjadikan emas barang langka dan melambungkan harganya. WaAllahu A’lam.

Minggu, 07 November 2010

Ketika US$ Jatuh, Apa Yang Terjadi Dengan Rupiah dan Harga Emas...?

Oleh Muhaimin Iqbal
Senin, 08 November 2010 08:17

Akhir September lalu ketika harga emas dunia mendekati angka psikologis US$ 1,300/Oz saya menulis tentang “Harga Emas : Tinggi Tetapi Tidak Ketinggian...”. Kini satu setengah bulan kemudian harga emas dunia terus melambung, jauh melewati angka psikologis US$ 1,300/Oz tersebut dan bisa jadi sedang menuju angka psikologis berikutnya. Mengapa seolah harga emas dunia ini begitu predictable ?, selain karena statistiknya begitu nyata, perilaku manusia-manusia yang mengendalikan daya beli US$ ini begitu mudah dibaca.

Jauh hari sebelum Quantitative Easing tahap 2 benar-benar diputuskan pekan lalu misalnya, pasar sudah menduganya – bahkan sampai ke angkanya yang hanya meleset sedikit (pasar menduga di kisaran US$ 500 Milyar, yang diputuskan US$ 600 Milyar ). Jadi gejala jatuhnya daya beli US$ ini sebenarnya adalah terang benderang seterang siang hari, apalagi apabila dilihat dari kaca mata Qur’ani yang memang sudah menjanjikan akan dimusnahkannya Riba (QS 2 : 176).

Lantas bila jatuhnya daya beli US$ begitu nyata, apakah kita bisa melihat jatuhnya daya beli Rupiah ?. Tidak semua orang mungkin bisa melihat bahwa daya beli Rupiah juga sedang jatuh. Ini adalah karena adanya bias alat ukur, yaitu bila Rupiah diukur dengan US$ - maka nilai tukar Rupiah yang saat ini (08/11/2010) berada di kisaran Rp 8,900/US$ - kelihatan Rupiah seolah lagi perkasa. Mobil yang lagi berjalan mundur akan kelihatan berjalan maju, bila dilihat dari mobil lain yang berjalan mundur lebih cepat.

Kita hanya bisa tahu bahwa daya beli Rupiah juga lagi jatuh ketika kita pakai Rupiah tersebut untuk membeli kebutuhan riil sehari-hari yang terus bertambah mahal. Lebih kentara lagi bila digunakan untuk membeli barang-barang yang memiliki nilai baku sepanjang zaman seperti emas atau Dinar. Grafik dibawah adalah ilustrasinya.

IDRX, USDX and GoldPrice

IDXR, USDX and GoldPrice

Grafik US$ Index adalah bila US$ dibandingkan dengan sekelompok mata uang kuat dunia, begitu pula grafik Rupiah Index. Di latar belakang adalah trend kenaikan harga emas dunia pada periode yang sama, jelas sekali bukan ?. Grafik garis hijau (US$ Index) turun, grafik garis merah (Rupiah Index) juga turun – pada saat yang bersaman grafik bidang emas (harga emas dunia US$/Oz) terus naik.

Maka karena saya belum bisa melihat akan adanya titik balik dari trend-trend terkini tersebut diatas; saya tetap dengan pendapat saya satu setengah bulan yang lalu – bahwa meskipun harga emas atau Dinar kini sudah sangat tinggi – tetapi tetap juga belum ketinggian !. Bukan hanya karena kelangkaan dan peminat yang terus bertambah, tetapi juga karena didorong oleh nilai tukar uang yang digunakan untuk membelinya terus mengalami penurunan. Wa Allahu A’lam.